Rabu, 25 Juni 2008

Pendidikan Islam Pluralis

PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS

Oleh Oom Komarudin, S.Ag

A. PENDAHULUAN

Pluralitas atau kemajemukan adalah suatu keniscayaan[1]. Ia pasti dijumpai dalam setiap masyarakat dimanapun. Hidup berdampingan antar individu dan antar kelompok yang berasal dari latar belakang yang berbeda menjadi pilihan yang tidak bisa dihindarkan. Teristimewa pada saat ini, ketika teknologi transportasi dan komuikasi telah mencapai kemajuan sangat pesat. Namun demikian, meskipun secara fisik manusia telah mampu untuk tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, secara sosial spiritual mereka belum memahami arti sesungguhnya dari hidup bersama dengan orang yang memiliki perbedaan kultur, yang antara lain mencakup perbedaan agama dan etnisitas.

Persoalan ini merupakan salah satu penyebab utama dari terjadinya berbagai krisis sosial yang mengerikan. Baik ditingkat internasional maupun ditingkat nasional. Untuk tingkat nasional sebut saja terjadinya kerusuhan di Ambon dan Maluku (1999), Kalimantan Barat (1996), Rengasdengklok (1997), Tasikmalaya (1996) dan Pekalongan (1995)[2]. Terjadinya kerusuhan-kerusuhan tersebut telah membawa ancaman terhadap kerukunan dan integrasi bangsa Indonesia.

Di samping contoh pertikaian terbuka yang kasat mata seperti contoh di atas, masih banyak lagi contoh lainnya yang berupa ketegangan antar kelompok. Ketegangan tersebut suhunya bisa meningkat karena pengaruh trauma sejarah, kesenjangan ekonomi, ketidakadilan sosial politik dan ketidakpastian hukum. Jika intesitasnya terus meninggi, maka dapat menyulut pertikaian terbuka dan kekerasan berdarah seperti telah terjadi dibanyak wilayah di dalam maupun di luar negeri [3].

Berbagai kenyataan pahit itu menunjukan bahwa secara kolektif masyarakat belum mampu belajar tentang bagaimana hidup bersama secara rukun, dimana dengan sadar dan tulus bisa memberikan toleransi dan apresiasi terhadap perbedaan sistem keyakinan (agama) yang dicerminkan melalui pandangan dan gaya hidup. Karena hal itu, pada masa kini hubungan antar manusia dan antaragama sudah harus mengalami pergeseran pola. Kalau masa lampau hubungan antar agama ditandai oleh upaya menundukan dan mengajak pihak lain masuk ke agama kita, masa kini hubungan tersebut harus lebih menekankan dialog dan saling pengertian. Dimasa lampau kita menganggap agama lain sesat dan musuh, takut dan curiga kepada usaha agama lain untuk mempengaruhi penganut agama kita, masa kini semangat keterbukaan lebih diutamakan.

Dalam konteks inilah pendidikan islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan teologi inklusif dan pluralis sehingga di dalam masyarakat islam akan tumbuh pemahaman yang inklusif demi harmonisasi agama-agama ditengah kehidupan masyarakat. Tertanamnya kesadaran multikultural dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanif dan toleran. Kaitannya dengan hal tersebut, makalah ini akan mencoba menjawab tantangan pluralisme kaitannya dengan pendidikan islam.

B. PLURALISME

Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi pluralisme adalah sebuah paham tentang pluralitas. Pengertian seperti ini akan lebih bermakna ketika seseorang mengakui dan meyakini bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai banyaknya perbedaan itu[4].

Namun demikian menurut Nurcholis Madjid, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negative, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility).[5]

Sedangkan menurut Ali Rabbani pluralisme adalah paham kemajemukan yang memiliki berbagai penerapan yang berbeda dalam filsafat agama, moral, hukum, dan politik yang batas kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalan. Dalam Agama pluralisme mengisyaratkan bahwa hakikat keselamatan bukalah monopoli satu agama tertentu. Semua agama menyimpan hakikat yang mutlak dan sangat agung. Menjalankan program masing-masing agama bisa menjadi sumber keselamatan[6].

Selanjutnya secara garis besar pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah kererlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kaitannya dengan pluralisme agama berarti tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebinekaan.

2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolotanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada kepada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.

3. Pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Bagi kaum relativis doktrin agama apa pun harus dinyatakan benar, semua agama adalah sama. Kaum relativis tidak akan menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa.

4. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme[7], yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[8]

Namun, pluralisme sering dipahami secara salah dengan menganggap menyamakan semua pandangan agama-agama yang berbeda. Itu salah besar. Pluralisme itu mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu yang terpenting bukan sekedar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dengan hak asasi manusia.

C. PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS

Ada satu pertanyaan yang cukup mendasar yang diajukan oleh Amin Abdullah[9] kaitannya dengan sub judul di atas. Pertanyaan tersebut adalah: “apakah pendidikan agama, baik islam, kristen, hindu, budha dan yang lainnya, telah cukup memberi bekal kepada anak didik ketika mereka harus berhadapan dan menghadapi realitas aktual dan konkrit tentang keberanekaragaman agama yang dianut oleh anggota masyarakat RT, RW, desa dan seterusnya hingga tingkat nasional, regional dan internasional?”. Di negara kita khususnya, jawaban dari pertanyaan tersebut sudah bisa ditebak, yaitu belum cukup. Jawaban ini salah satunya ditandai dengan masih sering terjadinya konflik sosial yang disebabkan oleh masalah agama.

Salah satu kritik, yang mungkin sudah hampir klasik, tentang pendidikan islam ialah belum ditemukannya pengetahuan pedagogis agama yang memadai. Apa yang selama ini dilaksanakan disekolah-sekolah tentang pendidikan agama tidak lebih dari transmisi pengetahuan agama melalui cara didaktis metodis seperti halnya pelajaran umum[10].

Epistemologi pendidikan islam yang selama ini berjalan terkesan masih bersifat teologis-doktrinal, pasif, dan jalan ditempat. Secara global, dapat digambarkan bahwa bangunan epistemologi ilmu-ilmu keislaman masih didominasi oleh logika deduktif, di bawah hegemoni teks (nash), adanya otoritas salaf (taqlid), dan peran akal terbatas pada bentuk analogi (qiyas). Masalah tersebut berpengaruh pada model pembelajarannya yang bersifat knowing. Proses belajar mengajar masih mengedepankan penguasaan pengetahuan di bawah otoritas guru dari pada belajar melalui murid mengembangkan dari aktivitasnya sendiri di bawah bimbingan sendiri. Di samping itu, penalaran dan pemahaman murid atas materi pelajaran masih dibawah kungkungan keilmuan dan pemahaman gurunya. Dari sini tidaklah salah untuk mengatakan bahwa secara metodologis pendidikan islam itu cenderung pasif[11]

Kecenderungan untuk mempertahankan konsep pendidikan islam yang lama yang dianggap telah teruji dan dipercayai masih jauh lebih baik, labih dominan dari pada keinginan untuk mengambil konsep pendidikan yang baru yang lebih baik dan sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman.

Oleh karena itu dapat dipahami jika sikap guru-guru agama dan juga anak didik dalam menghadapi pluralitas komunitas dan penganut agama-agama diluar yang mereka biasa kenal dan miliki nyaris tidak berubah. Isu kafir mengkafirkan antar kelompok pengikut agama, tuduhan tidak selamat jika menganut agama diluar yang ia anut, saling murtad memurtadkan, masih sering dijumpai di dalam praktek pendidikan agama manapun secara terang-terangan maupun secara halus. Sedikit atau banyak, ungkapan-ungkapan tersebut dapat menyentuh, melukai, menyakiti, menyinggung dan membangkitkan emosi kelompok penganut agama dalam berhadapan dengan penganut agama lain. Pada gilirannya kondisi psikologis tersebut mempunyai andil yang signifikan untuk menumbuhkan ketidakharmonisan hubungan antar pemeluk agama. Pada akhirnya emosi sosial dan kelompok keagamaan, mudah disulut oleh para provokator yang mempunyai kepentingan politik, ekonomi, sosial dan budaya[12].

Untuk menuju sebuah pendidikan islam yang menghargai pluralisme, banyak komponen pendidikan yang harus diperbaharui.Dalam makalah ini penulis hanya akan menyoroti masalah pendekatan dalam pengajaran. Pola-pola lama dalam pendekatan atau pengajaran agama harus segera dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik. Pendidik harus bisa mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat, sehingga dalam pengajarannyapun akan sesuai dengan perubahan tersebut. Dengan demikian proses pembelajaran akan berfungsi sebagai pengembangan hidup yang terbuka, demokratis dan humanis sebagai wahana petukaran budaya dan status sosial di tengah lintas batas budaya dalam peradaban global[13].

D. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis Kemajemukan

Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan, karena itu perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Pemikiran ini mengandung konsekuensi bahwa penyempurnaan atau perbaikan kurikulum pendidikan agama Islam adalah untuk mengantisipasi kebutuhan dan tantangan masa depan dengan diselaraskan terhadap perkembangan kebutuhan dunia usaha atau industri, perkembangan dunia kerja, serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Konsep yang sekarang banyak diwacanakan oleh banyak ahli adalah kurikulum pendidikan berbasis pluralisme.

Sebagaimana disebut di atas, bahwa konsep pendidikan pluralisme adalah pendidikan yang berorientasi pada realitas persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dan umat manusia secara keseluruhan. Pendidikan pluralisme digagas dengan semangat besar “untuk memberikan sebuah model pendidikan yang mampu menjawab tantangan masyarakat pasca modernisme”.

Melihat realitas tersebut, maka disinilah letak pentingnya menggagas pendidikan Islam berbasis pluralisme dengan menonjolkan beberapa karakter sebagai berikut; pertama pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari. Tentunya, ini masih menjadi pertanyaan, apakah sistem pendidikan seperti ini betul-betul mampu membongkar sakralitas ilmu-ilmu keagamaan dan dikhotomi keilmuan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu keagamaan.

Kedua ; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan. Kesadaran pluralisme merupakan suatu keniscayaan yang harus disadari oleh setiap peserta didik. Tentunya, kesadaran tersebut tidak lahir begitu saja, namun mengalami proses yang sangat panjang, sebagai realitas pemahaman yang komprehenship dalam melihat suatu fenomena.

Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang memberikan keluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab. Sekolah memfasilitasi adanya “mimbar bebas”, dengan meberikan kesempatan kepada semua civitas untuk berbicara atau mengkritik tentang apa saja, asal bertanggung jawab. Tentunya, sistem demokrasi ini akan memberikan pendidikan pada siswa tentang realitas sosial yang mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda. Di sisi yang lain, akan membudayakan “reasoning” bagi civitas di lembaga pendidikan Islam.

Perlunya membentuk pendidikan Islam berbasis pluralisme tersebut, sekali lagi merupakan suatu inisiasi yang lahir dari realitas sejarah pendidikan khususnya di Indonesia yang dianggap gagal dalam membangun citra kemanusiaan. Dimana umumnya, pendidikan umum hanya mencetak orang-orang yang pinter namun tidak mempunyai integritas keilmuan dan akhlaq ilmuan. Ini yang kemudian melahirkan para koruptor yang justru menjadi penyakit dan menyengsarakan bangsa ini. Di satu sisi, pendidikan agama yang ada hanya menciptakan ahli agama yang cara berpikirnya parsial dan sempit. Akhirnya, semakin banyak orang pinter ilmu agama semakin kuat pertentangan dan konflik dalam kehidupan. Inilah sistem pendidikan yang gagal dalam menciptakan citra kemanusiaan.

Untuk merealisasikan cita-cita pendidikan yang mencerdaskan seperti tersebut, lembaga pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada penanaman kesadaran pluralisme dalam kehidupan. Adapun beberapa program pendidikan yang sangat strategis dalam menumbuhkan kesadaran pluralisme adalah: pendidikan sekolah harus membekali para mahasiswa atau peserta didik dengan kerangka (frame work) yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkunganya.[14]

Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum PAI yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.

Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum sebagai proses. Ada empat hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (1) posisi siswa sebagai subjek dalam belajar, (2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya, (3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (4) lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar[15]. Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum pendidikan mestilah mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.

Bentuk kurikulum dalam pendidikan agama Islam hendaknya tidak lagi ditujukan pada siswa secara individu menurut agama yang dianutnya, melainkan secara kolektif dan berdasarkan kepentingan bersama. Bila selama ini setiap siswa memperoleh pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka diusulkan agar lebih baik bila setiap siswa SLTP-PT memperoleh materi agama yang sama, yaitu berisi tentang sejarah pertumbuhan semua agama yang berkembang di Indonesia. Sedangkan untuk SD diganti dengan pendidikan budi pekerti yang lebih menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan dan kebaikan secara universal. Dengan materi seperti itu, di samping siswa dapat menentukan agamanya sendiri (bukan berdasarkan keturunan), juga dapat belajar memahami pluralitas berdasarkan kritisnya, mengajarkan keterbukaan, toleran, dan tidak eklusif, tapi inklusif[16].

Amin Abdullah[17] menyarankan “perlunya rekontruksi pendidikan sosial-keagamaan untuk memperteguh dimensi kontrak sosial-keagamaan dalam pendidikan agama”. Dalam hal ini, kalau selama ini praktek di lapangan, pendidikan agama Islam masih menekankan sisi keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya sendiri—jadi materi pendidikan agama lebih berfokus dan sibuk mengurusi urusan untuk kalangan sendiri (individual atau private affairs). Maka, pendidikan agama Islam perlu direkontruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract. Sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman, credo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama (cooperation) dalam bentuk kontrak sosial antar sesama kelompok warga masyarakat.

Pendek kata, agar maksud dan tujuan pendidikan agama Islam berbasis pluralisme dapat tercapai, kurikulumnya harus didesain sedemikian rupa dan favourable untuk semua tingkatan dan jenjang pendidikan. Namun demikain, pada level sekolah dasar dan menengah adalah paling penting, sebab pada tingkatan ini, sikap dan perilaku peserta didik masih siap dibentuk. Dan perlu diketahui, suatu kurikulum tidak dapat diimplementasikan tanpa adanya keterlibatan, pembuatan dan kerjasama secara langsung antara para pembuat kurikulum, penulis text book dan guru.

Langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh pembuat kurikulum, penulis text book dan guru untuk mengembangkan kurikulum PAI berbasis pluralisme di Indonesia, adalah sebagai berikut; Pertama, mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk tingkat dasar, filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresifme, dan rekontruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.

Kedua, teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan ketrampilan yang harus dimiliki generasi muda.

Ketiga, teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.

Keempat, proses belajar yang dikembangkan untuk siswa haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan siswa belajar individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik.

Kelima, evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan. Penggunaan alternatif assesment (portfolio, catatan, observasi, wawancara) dapat digunakan.

Di samping perlunya memperhatikan langkah-langkah itu, untuk menuju sebuah PAI yang menghargai pluralisme, sebenarnya selain aspek kurikulum yang harus didesain, sebagaimana telah penulis uraikan, aspek pendekatan dan pengajaran. Pola-pola lama dalam pendekatan atau pengajaran agama harus segera dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik. Pendidik harus sadar betul bahwa masing-masing peserta didik merupakan “manusia yang unik” (human uniqe), karena itu tidak boleh ada penyeragaman-peyeragaman. Dalam prespektif ini, pendidikan agama Islam yang memberikan materi kajian perbandingan agama dan nilai-nilai prinsip Islam seperti; toleransi, keadilan, kebebasan dan demokrasi—untuk memperoleh suatu pemahaman di antara orang-orang yang berbeda iman itu—adalah sebuah keniscayaan.

E. Menampilkan Islam Toleran Melalui Kurikulum

Mengembangkan sikap pluralisme pada peserta didik di era sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikanya dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap pluralisme itu akan dapat ditumbuhkembangkan dalam diri generasi muda kita melalui dimensi-dimensi pendidikan agama dengan memperhatikan hal-hal seperti berikut:

  1. Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
  2. Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.
  3. Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.
  4. Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
  5. Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.

Selain beberapa hal di atas, perlu kiranya mengajarkan materi Aqidah Inklusif.

Sebagaimana telah banyak diketahui umat Islam, aqidah berasal dari bahasa Arab yang berarti “kepercayaan”, maksudnya ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang beragama. Dalam Islam, aqidah selalu berhubungan dengan iman. Aqidah adalah ajaran sentral dalam Islam dan menjadi inti risalah Islam melalui Muhammad. Tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah. Masalahnya karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, terkadang menimbulkan “problem” tersendiri ketika harus berhadapan dengan “keimanan” dari orang yang beragama lain. Apalagi persoalan iman ini, juga merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya milik Islam saja. Maka, tak heran jika kemudian muncul persoalan truth claim dan salvation claim diantara agama-agama, yang sering berakhir dengan konflik antar agama.

Untuk mengatasi persoalan seperti itu, pendidikan agama Islam melalui ajaran aqidahnya, perlu menekankan pentingnya “persaudaraan” umat beragama. Pelajaran aqidah, bukan sekedar menuntut pada setiap peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya, seperti iman kepada Allah swt, nabi Muhamad saw, dll. Tetapi sekaligus, menekankan arti pentingya penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari. Intinya, aqidah harus berbuntut dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak al-Karimah pada peserta didik. Memiliki akhlak yang baik pada Tuhan, alam dan sesama umat manusia.

Pendidikan Islam harus sadar, bahwa kerusuhan-kerusuhan bernuasan SARA seperti yang sering terjadi di Indonesia ini adalah akibat ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat kita, seperti ekspresi keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik serta fanatisme untuk memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya, ekspresi keagamaan seperti itu merupakan hasil dari “pendidikan agama”. Pendidikan agama dipandang masih banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak seakidah) sebagai musuh. Maka di sinilah perlunya menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.

Pendidikan agama, merupakan sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.

Target kurikulum Agama Islam harus berorientasi pada akhlak. Bahkan dalam pengajaran akidahnya, kalau perlu semua peserta didik disuruh merasakan jadi orang yang beragama lain atau atheis sekalipun. Tujuanya adalah bukan untuk “konfersi”, melainkan dalam rangka agar mereka mempertahankan iman. Sebab, akidah itu harus dipahami sendiri, bukan dengan cara taklid, taklid tidak dibenarkan dalam persoalan akidah. Selain itu, pada masalah-masalah syari’ah. Dalam persoalan syariah, sering umat Islam juga berbeda pendapat dan bertengkar. Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu . memberikan pelajaran “fiqih muqarran”untuk memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah kepada mereka masing-masing.

Melalui suasana pendidikan seperti itu, tentu saja akan terbangun suasana saling menenami dalam kehidupan beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti diantara “perbedaan”manusia yang pada realitasnya memang berbeda. Tidak dikenal superior ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana dialog yang memungkinkan untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang keagamaan dan keimanan masing-masing.

Pendidikan Islam harus memandang “iman”, yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berintim dengan-Nya (dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia, dan bukanya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh manusia, antar sesama manusia dan dengan menggunakan bahasa manusia.

Melalui pengajaran akidah inklusif seperti itu, tentu saja bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena hal itu adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama. yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. setiap agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang dibanggakan penganut suatu agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap bertahan, jika mereka mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Akan tetapi, agama juga mempunyai sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan keagungan atau kesalahan-kesalahan yang biasa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu yang memalukan. Oleh karena itu, suatu dialog dalam perbandingan agama harus selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal yang dimiliki agama lain yang hendak dibandingkan, dan realitas agama—baik yang agung atau yang memalukan—dengan realitas agama lain yang agung atau memalukan itu dengan demikian, akan dapat terhindar dari suatu penilai stndar ganda dalam melihat agama lain.

E. PENUTUP

Demikianlah pemaparan singkat tentang pendidikan islam dan plurasilme yang dapat penulis sajikan. Tentunya makalah ini masih jauh untuk bisa menjawab tantangan pluralisme. Karena itu upaya-upaya yang bernuansa reformatif dan rekonstruktif terhadap model pendidikan agama dan pendidikan sosial keagamaan era kontemporer sangatlah ditunggu-tunggu kehadirannya oleh masyarakat luas.


DAFTAR PUSTAKA

Ø Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, MA. SH, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).

Ø Amin Abdullah, Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan dalam Jurnal Taswirul Afkar, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2001).

Ø Zakiyuddin Baidhawi, Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: PSB-PS UMS, 2005).

Ø Subur Cahyono, Obsesi Pluralisme http://www.huttaqi.com/artikel.php?id_isi=628&id_ttl=161&flag=1

Ø Ali Rabbani Gulpaigani, Menggugat Pluralisme Agama (Jakarta: Al-Huda, 2004).

Ø Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Agama, (Bandung: Mizan, 1999).

Ø Prof. Dr. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1991).

Ø Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Pustaka Firdaus, 1997).

Ø Sembodo Ardi Widodo, M.Ag, Kajian Folosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Jakarta: Nimas Multima, 2003).

Ø Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer. (Bandung: Mizan, 2000).

Ø Stevan M Chan, Pendidikan Liberal, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002).

Ø Zuly Qodi, Pendidikan Islam Trasnformatif dalam Jurnal Taswirul Afkar, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2001).

Ø Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas dan Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Ø Darmaningtyas, Pendidikan Pada Dan Setelah Krisis, Yogyakarta: 1999.

Ø Hamid Hasan S.“Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi Bulan Januari-November, 2000, h. 510-524.



[1] Bahkan menurut M.Amin Suma, Pluralisme baik agama maupun yang lainnya merupakan sunatullah yang secara implisit maupun eksplisit diinformasikan dalam al-Qur’an, sekurang-kurangnya dalam surat al-Hujurot ayat 13. Lihat Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, MA. SH, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), p. 138

[2] Amin Abdullah, Pengajaran Kalam dan Teologi di Era Kemajemukan dalam Jurnal Taswirul Afkar, (Jakarta: Lakpesdam NU, 2001), p.6

[3] Zakiyuddin Baidhawi, Reinvensi Islam Multikultural (Surakarta: PSB-PS UMS, 2005), p.10

[4] Subur Cahyono, Obsesi Pluralisme http://www.huttaqi.com/artikel.php?id_isi=628&id_ttl=161&flag=1

[5] Subur Cahyono, Obsesi Pluralisme http://www.huttaqi.com/artikel.php?id_isi=628&id_ttl=161&flag=1

[6] Ali Rabbani Gulpaigani, Menggugat Pluralisme Agama (Jakarta: Al-Huda, 2004), p. 13-14

[7] Dalam sejarah kita dapati sekian banyak agama sinkretik, seperti Manicheisme yang didirikan oleh Mani pada abad ketiga, merupakan campuran dari unsur-unsur ajaran Zoroaster, Budha dan Kristen. Lebih lanjut lihat Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Agama, (Bandung: Mizan, 1999), p. 43

[8] Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif… p. 41-42

[9] Lihat Taswirul Afkar..p.12

[10] Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Pustaka Firdaus, 1997), p. 240

[11] Sembodo Ardi Widodo, M.Ag, Kajian Folosofis Pendidikan Barat dan Islam, (Jakarta: Nimas Multima, 2003), p. 211

[12] Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer. (Bandung: Mizan, 2000), p. 68

[13] Stevan M Chan, Pendidikan Liberal, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), p. 16

[14] UNESCO, 1981

[15] Hasan, Hamid, S., “Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi Bulan Januari-November, h. 522

[16] Darmaningtyas, Pendidikan Pada Dan Setelah Krisis, (Yogyakarta: 1999.) P. 165

[17] Amin Abdullah… p. 13-16

Tidak ada komentar: