Rabu, 25 Juni 2008

Madrasah di Era Otda

MADRASAH "MENGGUGAT" OTONOMI DAERAH
Oleh : Yusuf Hasyim
(Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka Senin, 2 Juni 2008)
Otonomi daerah sudah berjalan kurang lebih delapan tahun sejak pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004. Banyak harapan adanya perubahan yang lebih baik, tetapi banyak pula kekhawatiran serta tuntutan yang berkembang yang seringkali menimbulkan kontroversi. Perbedaan antar daerah dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah masih menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih kompleks.
Salah satu contoh adalah masalah kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam bidang pendidikan, desentralisasi bermakna pelimpahan kewenangan seluruh urusan bidang pendidikan dan kebudayaan yang selama ini berada pada pemerintahan pusat beralih pada pemerintahan daerah baik kabupaten maupun kota.
Pemberian otonomi pendidikan yang luas pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia merupakan wujud kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul dalam masyarakat, selain itu juga sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum dan dapat juga ditujukan sebagai sarana peningkatan efisiensi pemerataan pendidikan, peran serta masyarakat dan akuntabilitas.

Makalah Pendidikan Islam

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

DALAM KONTEKS PERSEKOLAHAN

(Problematika dan Strategi Pengembangan )

Oleh : Yusuf Hasyim, S.Ag

A. Pendahuluan

Secara historis, pendidikan Islam di Indonesia telah dikenal seiring dengan kedatangan agama Islam itu sendiri, yaitu sekitar abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah.[1] Proses penyebaran Islam dilakukan oleh para pedagang, sehingga proses pendidikan pun dilakukan secara informal, sambil berdagang, mereka menyebarkan agama Islam di setiap ada kesempatan.[2] Menurut Haidar Putra Daulay, sistem pendidikan Islam tradisional di atas belum mengenal ruang kelas dan alat-alat yang lainnya seperti yang ada sekarang.[3]

Sebagai akibat Program Politik Etis (Etische Politiek), orang-orang pribumi akhirnya juga ikut merasakan belajar di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga mengenal sistem pendidikan modern, seperti sistem kelas, pemakaian meja dan bangku, metode belajar mengajar modern, dan ilmu pengetahuan.[4] Pada masa ini terdapat dua corak perkembangan pendidikan Islam yaitu corak lama yang berpusat di pondok pesantren dan corak baru dari perguruan (sekolah-sekolah). Munculnya dua corak pendidikan Islam ini, menimbulkan pemikiran baru untuk mensintesakan kedua corak tersebut dengan cara : (1) mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana ilmu-ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum diajarkan bersama-sama. (2) memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum yang sekuler.[5]

Corak pertama pengembangan pendidikan Islam tersebut kemudian menghasilkan bentuk lembaga pendidikan Islam baru yang dikenal dengan nama madrasah. Oleh karena itu dapat dipahami apabila orang mengatakan bahwa madrasah adalah sintesa dari model pesantren yang tradisional dengan sekolah model modern yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda,[6] Lahirnya madrasah merupakan akumulasi antara tuntutan zaman (modernisasi) dan ideology keagamaan (tradisionalisme).

Dalam konteks nasional, pendidikan Islam merupakan sub-sistem dari pendidikan nasional. Sebagai sistem, pendidikan Islam hanya berlaku di pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya yang sepenuhnya berlandaskan ajaran Islam. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan Islam tersebut menjadi salah satu bentuk pendidikan luar sekolah yang juga harus berorientasi pada pendidikan nasional.[7] Dalam konteks persekolahan, pendidikan Islam dilaksanakan dalam bentuk lembaga formal seperti halnya madrasah. Secara historis, perkembangan madrasah tidak bisa terlepas dari dinamika sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Munculnya dualisme penyelenggaraan pendidikan Islam di atas, telah menimbulkan berbagai persoalan yang cukup pelik yang berkaitan dengan masalah orientasi kerangka dasar filosofis, kebijakan penyelenggaraan, manajemen serta upaya-upaya dan strategi pengembangannya. Makalah ini mencoba memberikan kajian terhadap persoalan-persoalan tersebut.

B. Karakteristik Pendidikan Islam

Secara konseptual pendidikan Islam dapat dipahami dalam beberapa pengertian, yakni : (1) pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al qur'an dan sunnah. (2) pendidikan Islam dapat dipahami sebagai pendidikan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya. (3) pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.[8]

M. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilannya.[9] Dari pengertian ini maka tujuan pendidikan Islam untuk menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Sedangkan Hasan Langgulung merumuskan pengertian pendidikan sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akherat. [10] Penekanan pendidikan Islam adalah pada "bimbingan" bukan "pengajaran" yang mengandung konotasi otoritatatif pihak pelaksana pendidikan, anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya, sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator.[11]

Zarkowi Soejoeti sebagaimana dikutip oleh A. Malik Fajar mengemukakan bahwa pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian,[12] yaitu :

Pertama, lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlukan seperti ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga, lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya.

Dalam mengkaji tentang hakekat pendidikan Islam, Hasim Amir sebagaimana dikutip oleh A. Malik Fajar, mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang idealistic, yakni pendidikan yang integralistik yang mengandung komponen kehidupan meliputi Tuhan, manusia dan alam. Humanistic yang memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Pragmatic yakni pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan hidupnya. berakar budaya kuat yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik kemanusiaan maupun kebudayaan suatu bangsa atau kelompok etnis tertentu.[13]

Dasar pendidikan Islam adalah nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Al Qur'an dan sunnah atas prinsip mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudharatan bagi manusia. Karakteristik pertama pendidikan Islam adalah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT.

Azyumardi lebih lanjut mengatakan bahwa, pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya, di antaranya:[14] Pertama, pendidikan Islam penekanannya pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah Swt. Hal ini lebih lanjut akan berimplikasi pada pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai suatu proses yang berkesinambungan, dan pada prinsipnya berarlangsung seumur hidup. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah life long education dalam sistem pendidikan modern. Sebagai sebuah ibadah, maka pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam ini sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini maka kejujuran, sikap tawadlu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu dipegangi setiap pencarian ilmu.

Kedua, adalah pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia merupakan karakteristik pendidikan Islam berikutnya. Di sini suatu pengetahuan bukan hanya untuk diketahui, dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.

Harun Nasution, mengemukakan bahwa dalam konsep Islam manusia terdiri dari tiga unsur yaitu tubuh, hayat, dan jiwa.[15] Oleh karenanya menurut Mastuhu pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi, tetapi dalam prakteknya banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cenderung lebih mementingkan pendidikan yang berorientasi keakhiratan daripada keduniawian, karena kehidupan ukhrawi dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedang kehidupan duniawi dipandang sebagai sementara dan bukan terakhir.[16]

Dalam tataran normative-filosofis, persoalan pendidikan Islam seringkali terjadi perdebatan semantic tentang penggunaan kata tarbiyah, ta’dib, tabyin, ta’lim, dan tadris.[17] Dari segi muatan materi, pendidikan Islam dihadapkan pada persoalan dualisme-dikhotomi antara ilmu-ilmu agama dan umum. Secara epistimologis, tradisi keilmuan pendidikan Islam dalam konteks persekolahan (madrasah) mengacu pada dua basis keilmuan, Pertama, tradisi keilmuan pesantren yang lebih bersifat tradisional dan konservatif serta penuh dengan nilai-nilai agama yang sacral. Kedua, tradisi keilmuan modern yang penuh dengan muatan ilmu pengetahuan dan teknologi non agama.[18]

C. Problematika Pendidikan Islam di Indonesia

1. Managemen

Philip H. Coombs dalam bukunya “What is Educational Planning?”, paling tidak ada 4 tahapan permasalahan yang dilewati dunia pendidikan,[19] yaitu ; 1) Tahap rekonstruksi, pendidikan dihadapkan pada permasalahan pengkondisian otoritas pendidikan, desentralisasi pendidikan, serta perencanaan fasilitas pendidikan 2) Tahap Ketenagakerjaan/Penyiapan SDM, pendidikan dihadapkan pada penyiapan tenaga kerja yang terampil dan cakap (tenaga ahli), 3) Tahap Perluasan/Pengembangan pendidikan meliputi pengembangan kurikulum, metode, pengujian, demokrasi pendidikan, serta adaptasi sistem pendidikan dan ekonomi, 4) Tahap Inovasi, berhubungan dengan perencanaan pendidikan dan strategi-strategi pengembangan.

Sedangkan di negara-negara berkembang, problematika pendidikan yang dihadapi antara lain adalah :

1. Ketidakseimbangan komponen-komponen sistem pendidikan, meliputi tenaga pendidik/guru, bangunan, peralatan, buku teks, dll.

2. Masalah kebutuhan dan kapasitas pendidikan yang terbatas sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk.

3. Masalah keterbatasan kemampuan anggaran pendidikan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan perencanaan pendidikan.

4. Masalah kurangnya lapangan pekerjaan bagi tenaga-tenaga terdidik.

5. Kesalahan-kesalahan pendidikan dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman, berhubungan dengan relevansi kurikulum, metode pendidikan dengan dunia kerja.

Secara umum problematika yang dihadapi lembaga pendidikan pada umumnya memiliki beberapa kesamaan sebagaimana yang telah dideskripsikan oleh Philip H. Coombs di atas, maka masalah utama yang dihadapi lembaga pendidikan Islam antara lain[20]; Pertama, lemahnya management penyelenggaraan pendidikan. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan managerial para penyelenggara pendidikan yang masih dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang terbatas dan pengaruh budaya pedesaan yang cenderung mengacu pada pola management “alon-alon asal kelakon”.

Kedua, Bidang Sumber Daya Manusia/ tenaga Kependidikan. Masalah yang dihadapi adalah masih adanya tenaga pendidik atau guru yang mengajar kurang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (miss-match and underqualified), disamping itu masih banyak pula guru-guru swasta yang mempunyai peran ganda sebagai pengajar di lembaga pendidikan lain, sehingga kurang bisa berperan secara maksimal. Kondisi tenaga kependidikan –terutama profesionalisme guru- masih perlu mendapat perhatian serius karena hal ini juga akan berpengaruh terhadap out put pendidikan yang dihasilkan. Menurut hasil penelitian dari Departemen Agama RI, bahwa semakin nampak persoalan yang dihadapi madrasah adalah guru yang Miss-match dan underqualified.[21] 21,7 % dari total guru yang mengajar berstatus PNS, dan 78,3 % adalah non-PNS., 66,5 % memiliki spesialisasi pendidikan agama dan hanya 33,5 % yang memiliki spesialisasi pendidikan umum. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika, ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia, bahkan guru PAI mengajar Bahasa Inggris. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dalam menyampaikan materi sehingga mereka kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Diantara faktor yang menyebabkan kurangnya profesionalisme guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar professional yang mampu mengantisipasi tantangan dalam dunia pendidikan.

Ketiga, Bidang Kurikulum, permasalahan klasik yang dihadapi pada umumnya adalah ketidakmapanan kurikulum pendidikan. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan kebelumsiapan tenaga-tenaga kependidikan menjadi faktor penyebab ketidakjelasan arah dan target kurikulum. Disisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut relevansi kurikulum pendidikan dengan dunia kerja. Out put yang dihasilkan pendidikan dipertanyakan, apalagi jika dihadapkan pada permasalahan IPTEK.

Keempat, Bidang Sarana dan Prasarana, keterbatasan finansial merupakan kendala utama bagi upaya pengembangan pendidikan. Terutama adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Seperti terbatasnya fasilitas belajar mengajar, buku-buku teks, alat peraga, ruang praktikum, dsb. Apalagi kalau kita melihat alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih jauh dari amanat Undang-Undang yakni 20 % dari APBN. Lebih tragis lagi kalau kita melihat anggaran pendidikan untuk madrasah yang hanya berasal dari anggaran keagamaan, berbeda dengan sekolah umum di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, bagaimana mungkin mencukupi kebutuhan-kebutuhan penunjang pendidikan, sementara untuk kelangsungan penyelenggaraan pendidikan saja masih ditopang oleh bantuan masyarakat, walaupun sekarang ada Bantuan Operasional Siswa (BOS) yang hanya cukup untuk membiayai operasional pendidikan. Kelima, masalah Networking / pengembangan jaringan.

2. Konseptual-teoritis dan Operasional-Praktis

Selain itu perjalanan pendidikan Islam di Indonesia senantiasa dihadapkan pada persoalan yang komplek, mulai dari konseptual-teoritis sampai dengan operasional-praktis. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalan pendidikan Islam dibandingkan dengan pendidikan umum, sehingga terkesan pendidikan Islam sebagai pendidikan "kelas dua".[22]

Azyumardi Azra mencatat beberapa fenomena yang menyebabkan pendidikan Islam selalu dalam posisi tersingkirkan, antara lain[23] :

Pertama, pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat, sekarang dan masa datang. Kedua, sistem pendidikan Islam kebanyakan masih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika modern. Ketiga, usaha pembaharuan dan peningkatan sistem pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh, yang hanya dilakukan sekenanya atau seingatnya sehingga tidak terjadi perubahan secara esensial didalamnya. Keempat, sistem pendidikan Islam tetap lebih cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan, atau kurang bersifat futurei-oriented. Kelima, sebagian besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara professional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum, maupun pelaksanaan pendidikannya, sehingga kalah bersaing dengan lainnya.

Sedangkan Abdurrahman Mas'ud, menyoroti kelemahan pendidikan Islam secara umum adalah :

(1) dunia pendidikan Islam kini terjangkiti penyakit simtom dikotomik, dan masalah spirit of inquiry. (2) kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, yakni adanya tendensi pendidikan Islam yang lebih berorientasipada konsep "Abdullah" daripada "khalifatullah" dan "hablun minallah" daripada "hablun minannas", (3) adanya orientasi pendidikan yang timpang, sehingga melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan Islam, dari persoalan filosofis sampai ke metodologis, bahkan sampai ke the tradition of learning.[24]

3. Kebijakan dan Politik Pendidikan

Dalam konteks kebijakan pendidikan di Indonesia, madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang telah diakui secara konstitusional memiliki peranan yang sangat strategis dalam melaksanakan cita-cita pendidikan nasional. Menurut pandangan HAR Tilaar, hal ini disebabkan antara lain : Pertama, pendidikan di madrasah yang sementara ini seakan-akan tersisih dari mainstream pendidikan nasional namun berkenaan dengan pendidikan anak bangsa. Kedua, madrasah sebagai pendatang baru dalam system pendidikan nasional relative menghadapi berbagai masalah dan kendala di dalam hal mutu, manajemen, termasuk masalah kurikulumnya. Namun demikian madrasah mempunyai potensi atau nilai-nilai positif karena madrasah sarat akan nilai-nilai budaya bangsa.[25]

Dalam pandangan H.A.R. Tilaar, hal ini disebabkan karena Politik pendidikan kolonial yang menimbulkan dampak serius bagi pendidikan Islam termasuk madrasah dalam menghadapi arus modernisasi. Dampak tersebut antara lain :

1. termarginalisasi dari arus modernisasi dan cenderung kepada sifat ketertutupan dan ortodoksi.

2. karena sikap yang diskriminatif dari pemerintah kolonial maka pendidikan Islam terdorong menjadi milik rakyat pinggiran/pedesaan.

3. isi pendidikan Islam cenderung berorientasi pada praktek-praktek ritual keagamaan dan kurang memperhatikan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. mengalami berbagai kelemahan manajemen.[26]

Sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas Islam, madrasah merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan otonomi pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat sehingga memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia. Menurut catatan Departemen Agama (2007) sebagaimana dikutip oleh Ki Supriyoko,[27] jumlah MI sebesar 23.517 lembaga, 93 persen diantaranya swasta; MTs sebesar 12.054 lembaga, 90 persen diantaranya swasta; serta sedangkan MA sebesar 4.687 lembaga, 86 persen diantaranya swasta. Dari angka-angka ini diinterpretasi bahwa eksistensi madrasah di Indonesia sangatlah menentukan “merah-putihnya” pendidikan nasional.

Menguatnya aspirasi bagi otonomisasi atau desentralisasi pendidikan tidak terlepas dari kenyataan adanya kelemahan konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya semasa Orde Baru.[28] Diantara masalah dan kelemahan yang terjadi dalam konteks ini menurut Azyumardi Azra, antara lain[29] : Pertama, kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Kedua, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu, seperti target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik.

Dengan demikian kosekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang tersebut dalam penyelenggaraan pendidikan berimplikasi pada bentuk otonomi atau desentralisasi pendidikan.[30] Dalam dunia pendidikan era otonomisasi ini akan mengubah beberapa paradigma pendidikan dari sentralisasi mengarah kepada desentralisasi serta prinsip demokratisasi, keterbukaan, akuntabilitas yang mengarah pada munculnya kebijakan arus bawah.[31]

Di samping itu otonomi daerah akan melahirkan kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Perbedaan mutu pendidikan masing-masing daerah sangat ditentukan oleh besarnya perhatian pemerintah daerah pada bidang pendidikan, selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia serta pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks globalisasi, menurut Suyanto daerah-daerah perlu melakukan benchmarking sektor pendidikan yang dikelolanya secara otonomi dalam aspek input, process, product, maupun outcome agar otonomi daerah tidak membuat sektor pendidikan justru ketinggalan zaman.[32]

Problematika ini juga disinyalir dalam Program Pembangunan Nasional (propenas) 2000-2004 sebagai pengganti GBHN, yang menyoroti beberapa persoalan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. H. Muchsin, SH, yaitu : (1) rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, (3) lemahnya manajemen pendidikan, (4) belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan iptek di kalangan akademisi, (5) ketimpangan pemerataan pendidikan antar wilayah geografis.[33]

Dengan pemberlakuan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, madrasah sebagai salah satu bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat paling tidak memiliki kewenangan yang luas dalam beberapa hal, antara lain : Pertama, Penjabaran kurikulum Nasional. Kedua, Penetapan kurikulum local. Ketiga, Pelaksanaan proses belajar. Keempat, Penentuan tenaga pengajar dan kepala sekolah. Kelima, Pelaksanaan evaluasi belajar.[34]

Secara yuridis, madrasah telah diakui sebagai sub sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Sisdiknas No.20 Tahun 2003,[35] namun demikian posisi ini menimbulkan beberapa konsekuensi antara lain adalah dimulainya suatu pola pembinaan yang mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah.[36] Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama. Dengan demikian terjadi dualisme dalam pembinaan pendidikan antara sekolah (madrasah) yang berada di bawah Departemen Agama dengan sekolah yang berada dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dualisme ini berimplikasi pada munculnya kebijakan-kebijakan yang kurang menguntungkan sekolah-sekolah yang berada di bawah Departemen Agama.

Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3 huruf (f) tentang pembagian urusan pemerintahan, urusan agama termasuk salah satu urusan pemerintahan yang tidak didesentralisasikan atau diotonomkan ke daerah. Hal ini menimbulkan multi interpretasi terhadap kedudukan Pendidikan Agama dalam hal ini madrasah.[37] Di lapangan seringkali terjadi lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah berdalih bahwa madrasah tidak menjadi bagian tugasnya karena belum diotonomikan, sedangkan pemerintah pusat mengira jika kebutuhan madrasah juga telah dicukupi oleh daerah sebagaimana mengurus pendidikan di daerah pada umumnya, akhirnya nasib madrasah bertambah sengsara tidak ditopang oleh kedua-duanya, baik pusat maupun daerah.[38]

Posisi madrasah selama ini seringkali diperlakukan kurang adil, pada satu sisi madrasah dituntut menghasilkan lulusan yang sama dengan sekolah umum akan tetapi kurang memperoleh dukungan financial yang memadai, lebih-lebih lagi bagi madrasah swasta[39] yang pada umumnya sebagai penyangga financial kehidupan madrasah adalah wali murid.

Dari segi anggaran , perolehan anggaran untuk operasional pendidikan terdapat perbedaan antara lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Agama dengan sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai akibat perbedaan anggaran tersebut maka terjadi pula perbedaan dalam pengadaan sarana fisik serta kegiatan pendidikan yang bersifat non fisik lainnya. Masalah lain yang muncul adalah kekurangan tenaga pengajar khususnya guru-guru yang sesuai dengan bidang studi keahlian dan problem-problem lain yang tidak sedikit.

Seharusnya pemerintah bersikap adil, demokratis dan bertangungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tanpa harus mendiskriminasikan antara lembaga pendidikan yang berada dalam pengelolaan Departemen Agama maupun yang berada dalam pengelolaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan otonomi daerah, karena madrasah juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam mencerdaskan anak bangsa.

Salah satu “kekeliruan” kebijakan pendidikan yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap rendahnya kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah kurang diperhitungkannya madrasah dalam sistem pendidikan nasional.[40] Kalau kita berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah.

D.Strategi Pengembangan Pendidikan Islam

Nanat Fatah Natsir, sebagaimana dikutip oleh Hujair AH. Sanaky mengemukakan bahwa paling tidak ada empat strategi dasar dalam pembangunan pendidikan nasional dan pendidikan islam di indonesia, yakni Pertama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kedua, relevansi pendidikan. Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan. Keempat, efisiensi pendidikan.[41]

Sebagai upaya pemerataan pendidikan dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya, maka pendidikan Islam perlu menyusun strategi dan kebijakannya sebagaimana dirumuskan oleh Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi Depdikbud RI, antara lain :

(1) menyelenggarakan pendidikan Islam yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat madani indonesia dalam menghadapi tantangan global. (2) menyelenggarakan pendidikan Islam yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable) kepada masyarakat sebagai pemilik sumber daya dan dana serta pengguna hasil pendidikan, (3) menyelenggarakan proses pendidikan Islam yang demokratis secara profesional sehingga tidak mengorbankan mutu pendidikan, (4) meningkatkan efisiensi internal dan eksternal pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (5) memberi peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa indonesia, (6) secara bertahap mengurangi peran pemerintah (Departemen Agama) enuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan Islam, (7) merampingkan birokrasi pendidikan Islam sehingga lebih lentur (fleksibel) untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam lingkungan global.[42]

Disamping itu ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan problema besar kemadrasahan. Ki Supriyoko melihat paling tidak ada dua cara yaitu cara knvensional dan cara modern.[43] Cara yang paling konvensional adalah menyampaikan “ilmu umum” yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan “ilmu agama”. Cara ini bagus akan tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasrama alias dipondokkan. Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya bisa menjalankan cara ini secara produktif; namun pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.

Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan di antara cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.

Bagaimanapun juga, pembaharuan-pembaharuan yang akan dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Islam (madrasah) harus tetap mempertimbangkan aspek realitas struktural dan kultural yang terjadi. Menurut A. Malik Fajar, kebijakan-kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasikan tiga kepentingan, yaitu: Pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama ummat Islam, yakni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup Islami. Kedua, kebijakan itu memperjelas dan memperkukuh madrasah sebagai ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif sederajat dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus bisa menjadikan madrasah mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan.[44]

Oleh karena itu madrasah juga harus mulai berbenah diri untuk memperbaiki manajemen melalui berbagai upaya alternatif untuk mengatasi berbagai problematika baik secara internal maupun eksternal, sehingga mampu meningkatkan kualitas dan daya saing di era globalisasi.

E. Penutup

Demikian makalah singkat tentang pendidikan Islam dalam konteks persekolahan dan permasalahan penyelenggaraannya yang penulis rasa masih belum maksimal. Semoga bisa menjadi kajian awal diskusi manajemen pendidikan agama Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Azra, Azyumardi, Paradigma Baru Penddikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

Bakar, Usman Abu dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Respon Kreatif terhadapUndang-Undang Sisdiknas, Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2005.

Coombs, Philip H., What is Educational Planning?, Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 1970.

Daulay, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Ilmu, 2001.

Dauly, Haidar Putra, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Fajar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999.

Fransisca Kemmerer, “Desentralization of Schooling in Developing Nation”, dalam Ensiclopedia of Education, tp, tt,.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet.III, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Hasyim, Yusuf, "Eksistensi Madrasah di Tengah Polemik Pembaharuan Pendidikan", Majalah Rindang, Kanwil Depag Jawa Tengah, No. 3 Th.XXVIII, Oktober, 2002, hal 25.

Hasyim, Yusuf, "Mengapa Kurikulum jadi Kambing Hitam? Mencari Akar Masalah Pendidikan di Indonesia", disampaikan dalam Workshop Peningkatan Mutu Madrasah, Pati, 20 Nopember 2006.

Kebijakan Strategis Ditjen Kelembagaan Agama Islam Tahun 2003-2005, Jakarta, Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2003.

Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdikbud RI, 1999.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung : Al Ma'arif, 1980.

Ludjito, Ahmad, "Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada Sekolah di Indonesia", dalam Chabib Thoha, dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994.

Mas'ud, Abdurrahman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Masyhuri AM, dkk., Problematika Madrasah, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001.

Muchsin, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, Surabaya: Pascasarjana UNSURI, 2007.

Mukhtar, Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Nasution, Harun, "Manusia Menurut Konsep Islam", dalam Islam dan Pendidikan Nasional, Jakarta : Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983.

Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Cet.IX, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Qardhawi, Yusuf, Pendiidikan Islam dan Madrasah Hasan Al Bana, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta : Bulan Bintang, 1980.

Ratuprawiranegara, Alamsyah, “Sambutan,” dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI-Press, 1986.

Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999.

Suprayogo, Imam, Quo Vadis Madrasah; Gagasan, Aksi & Solusi Pembangunan Madrasah, Yogyakarta, Hikayat Publishing, 2007.

Supriyoko, Ki, "Hakikat Politik Pendidikan Nasional" dalam Ali Muhdi Amnur (Ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007.

Supriyoko, Ki, "Problema Besar Madrasah", Republika, 18 Maret 2008.

Suyanto, "Persoalan Pendidikan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah" dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian (Ed), Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi, dan Saran, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Tilaar, H.A.R., Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: Indonesia Tera, 2003.

Tilaar, H.A.R., Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta : Rineka Cipta, 2004.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.

Wirjosukarto, Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember: Muria Offset, 1985.

Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.



[1]Alamsyah Ratuprawiranegara, “Sambutan,” dalam K.H.O. Gadjahnata dan Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. v

[2] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Cet.III, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 21

[3] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana Ilmu, 2001), hal. 1

[4] Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 154

[5] Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jember: Muria Offset, 1985), hal. 62-63.

[6] Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 46

[7] Ahmad Ludjito, "Pendekatan Integralistik Pendidikan Agama pada Sekolah di Indonesia", dalam Chabib Thoha, dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hal. 301

[8] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 30

[9] Yusuf Al Qardhawi, Pendiidikan Islam dan Madrasah Hasan Al Bana, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980), hal. 157.

[10] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : Al Ma'arif, 1980), hal. 94.

[11] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 6

[12] A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hal. 31

[13] A. Malik Fajar, Reorientasi…., hal. 37-38

[14] Ibid., hal. 10

[15] Lebih jelas lihat : Harun Nasution, "Manusia Menurut Konsep Islam", dalam Islam dan Pendidikan Nasional, (Jakarta : Lembaga Penelitian IAIN Jakarta, 1983), hal. 59-79.

[16] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hal. 13

[17] Lihat: Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. 11; Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet.IX, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 334

[18] Yusuf Hasyim, "Eksistensi Madrasah di Tengah Polemik Pembaharuan Pendidikan", Majalah Rindang, Kanwil Depag Jawa Tengah, No. 3 Th.XXVIII, Oktober, 2002, hal 25.

[19] Lebih jelas baca : Philip H. Coombs, What is Educational Planning?, (Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 1970), hal. 20.

[20] Yusuf Hasyim, "Mengapa Kurikulum Jadi Kambing Hitam? Mencari Akar Masalah Pendidikan di Indonesia", disampaikan dalam Workshop Peningkatan Mutu Madrasah, Pati, 20 Nopember 2006.

[21] Masyhuri AM, dkk., Problematika Madrasah, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2001), hal. 18

[22] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Respon Kreatif terhadapUndang-Undang Sisdiknas, (Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2005), hal. 80.

[23] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…….hal. 59-60

[24] Abdurrahman Mas'ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 14.

[25] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal. 164-165.

[26] H.A.R Tilaar, Paradigma ……, Ibid., hal. 169-170

[27] Ki Supriyoko, "Problema Besar Madrasah", dalam Republika, 18 Maret 2008.

[28] Pada masa Orde Baru, proses pendidikan, kurikulum, metodologi pendidikan, merupakan pengejawantahan dari system kekuasaan yang ada atau merupakan upaya pelestarian kekuasaan Orde Baru pada saat itu. Lihat: H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang: Indonesia Tera, 2003), hal. 145.

[29] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Penddikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hal 5-6.

[30] Fransisca Kemmerer melihat paling tidak ada empat bentuk desentralisasi pendidikan ; Pertama, dekonsentrasi yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan tingkat yang lebih rendah dalam jajaran birokrasi pusat. Kedua, pendelegasian, yakni pengalihan kewenangan ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara public. Ketiga, devolusi, yakni pengalihan kewenangan ke unit pemerintah daerah. Keempat, swastanisasi, berupa pendelegasian kewenangan ke badan usaha swasta atau perorangan. Lihat: Fransisca Kemmerer, “Desentralization of Schooling in Developing Nation”, dalam Ensiclopedia of Education, (tp), hal 142.

[31] Haidar Putra Dauly, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 96.

[32] Suyanto, "Persoalan Pendidikan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah" dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian (Ed), Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan, Evaluasi, dan Saran, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 241.

[33] Muchsin, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, (Surabaya: Pascasarjana UNSURI, 2007), hal. 53

[34] Kebijakan Strategis Ditjen Kelembagaan Agama Islam Tahun 2003-2005, (Jakarta, Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2003), hal. 39

[35] Lebih jelas lihat; Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 ayat 3.

[36] H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru ……., hal 170.

[37] Ki Supriyoko, "Hakikat Politik Pendidikan Nasional" dalam Ali Muhdi Amnur (Ed.), Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional,( Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007), hal.12.

[38] Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah; Gagasan, Aksi & Solusi Pembangunan Madrasah, (Yogyakarta, Hikayat Publishing, 2007),hal.78-79

[39] Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah ……….. Op.Cit. hal. 98

[40] Ki Supriyoko, "Problema Besar…." Ibid.

[41] Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hal. 145

[42] Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijakan dan Strategi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdikbud RI, 1999), hal. 3.

[43] Ki Supriyoko, "Problema Besar ….", Ibid.

[44] A. Malik Fajar, Reorintasi ……, hal. 95-96.